Minggu, 13 November 2011

iMobot Robot Modular untuk Penelitian

Universitas California Davis mengkomersilkan robot modular yang akan memungkinkan peneliti studi bidang robotika seperti robot AI, biomimetika, dan kolaborasi robot tanpa harus membangun perangkat keras itu sendiri. Barobo IMobot yang dikutip dari news.com , dikembangkan oleh Graham Ryland dan Harry Cheng, dimaksudkan untuk mengisi celah di pasar untuk mesin modular bagi penelitian.
Seperti yang terlihat pada video di bawah, setiap modul iMobot bisa merangkak atau berguling-guling, dan berdiri. Kamera dapat dimasukkan ke dalam faceplate sendi berputar , menurut para peneliti.

 
Modul bisa dihubungkan menjadi bentuk robot seperti ular yang dapat menggeliat pada medan tidak rata, atau bentukan yang lebih besar yang dapat bergerak di atas roda.
Setiap modul memiliki standar mount ke modul lain dan modul sensor dapat ditambahkan dalam konfigurasi terbatas. Start-up pembuat robot ini menerima dana penelitian untuk inovasi-usaha kecil dari National Science Foundation, dan mereka berharap untuk memasarkan iMobot pada akhir tahun 2011.


Generasi Kedua Tangan Robot Bertenaga Udara Kini Jadi Lebih Sensitif

Kehidupan kita memang sudah cukup maju, berbagai teknologi baru dikembangkan tiap saat dari berbagai penjuru, maka tak heran pula kalau pada masa ini kecanggihan yang ditawarkan teknologi adalah suatu cara untuk membuat hidup manusia menjadi lebih mudah dan simpel. Namun di sisi lainnya, manusia pun menjadi malas untuk melakukan pekerjaan sehari-hari dan lebih mempercayakan pada mesin untuk bekerja ekstra membereskan pekerjaan-pekerjaannya. Semakin hari dibuat semakin mudah dengan kehadiran berbagai mesin baru yang siap menjadi budak kita.
Perkembangan mesin-mesin ini jualah yang akhirnya mendorong manusia untuk bereksperimen mengenai dunia robotic. Memang bukan hal mudah, apalagi kalau yang dirancang adalah robot humanoid yang menyerupai tingkah laku manusia sehari-hari. Seperti yang dilakukan di universitas Virginia Tech di dalam laboratorium Engineering Robotic and Mechanisms dimana kini telah sukses mengembangkan generasi terbaru dari riset pembuatan tangan robot RAPHaEL, sekarang sudah memasuki tahap RAPHaEL 2 yang juga telah membuat keberhasilan ini mendapatkan penghargaan khusus pada kompetisi ASME Student Mechanism and Robot Design.
Untuk membuat tangan robot bukanlah hal mudah, apalagi kalau sebelumnya robot ini hanya sekedar bagian tubuh saja, namun untuk membuat tangan robot diperlukan sensor yang lebih lengkap sehingga robot bisa tau benda apa saja yang bisa dipegangnya dengan sentuhan lembut dan sentuhan biasa. Layaknya tangan manusia, tangan robot ini harus bisa membedakan tekanan ketika menyentuh benda dan harus lebih sensitif. Itulah yang akhirnya dicapai dengan menggunakan tenaga udara yang disusun pula dengan karbon fiber sehingga tangan robot ini bisa berjalan dengan sangat baik ketika menghadapi benda yang berbeda dengan sentuhan yang berbeda pula.

Lensa Kontak Berubah Warna Sebagai Indikasi Tingkat Gula Darah Bagi Penderita Diabetes


Teknologi dan bidang kesehatan memang sudah seharusnya seiring sejalan. Alangkah sulitnya pekerjaan di bidang kesehatan kalau tak didukung oleh peralatan-peralatan canggih untuk bisa mendeteksi dan mengobati penyakit.
Ini memang bukan hal baru di dunia kesehatan. Dimana ada lensa kontak khusus yang mampu deteksi tingkat gula darah bagi para penderita diabetes. Namun tampaknya sekelompok peneliti di Universitas Western Ontario ini menjadi sedikit lebih dekat dengan teknologi lensa kontak berubah warna tersebut. Apalagi kabarnya yayasan Canada Foundation telah mendanai 200.000 USD eksperimen tersebut.
Perbedaan yang terdapat pada lensa kontak ini adalah karena ukuran nano partikel yang benar-benar kecil yang ada di dalamnya yang tertanam semacam hidrogel yang mana bereaksi terhadap molekul glukosa dalam air mata dan menyebabkan reaksi kimia yang mengubah warna lensa.
Perubahan warna lensa ini tentu akan menginformasikan kepada pemakainya ketika gula darah terlalu rendah atau terlalu tinggi. Tampaknya nanti gagasan serupa juga akan digunakan dalam aplikasi lainnya di luar pemantauan. Tentu dengan melihat warna lensa kontak yang berubah warna si pengguna akan lebih tanggap ketika gula darahnya naik atau turun. Hmmm, semoga saja eksperimen ini segera membuahkan hasil nantinya.

Peneliti dari Caltech Berhasil Membangun Jaringan DNA yang Bisa Berpikir

Peneliti di Institut Teknologi California (Caltech) mengklaim mereka telah berhasil membuat jaringan DNA buatan  yang dapat berpikir. Mereka mengatakan bahwa Jaringan DNA buatan hasil penelitiannya dapat menjawab pertanyaan dengan benar.
Seorang sarjana postdoctoral, Lulu Qian dan koleganya mendeskripsikan proses sistem molekular dapat menghasilkan prilaku seperti otak dalam paper yang dipublikasikan pada 21 Juli.
Qian mengatakan bahwa para peneliti membuat empat neuron yang disusun dari 112 untaian DNA yang berbeda. Jauh jika dibandingkan dengan jaringan otak manusia yang memiliki 100 ribu neuron.
Jaringan neural yang belum sempurna tersebut dapat bekerja pada mekanisme input-output sederhana yang disebut strand-displacement cascade. Pada dasarnya, untaian DNA yang disintesis mengapung di atas air dan bergabung ke untai yang memiliki struktur pasangan basa komplementer, yang lalu menciptakan sebuah input. Ketika penyatuan terjadi, sebuah untai DNA akan terlepas dan menciptakan output.
Pada percobaan terakhirnya, para peneliti mencoba melatih jaringan neural tersebut dalam game berisi pertanyaan dengan jawaban ya dan tidak.
Salah seorang peneliti meletakkan untaian DNA yang mewakili serangkaian jawaban yang tak lengkap ke dalam tabung percobaan, yang sebelumnya telah berisi Jaringan DNA. Kemudian jaringan akan menyediakan jawaban dengan menggunakan sinyal fluorescent.
Dari 27 kali percobaan, DNA ‘otak’ menjawab dengan benar. Pihak Caltech mengatakan bahwa jaringan DNA memiliki kemampuan untuk berpikir, meskipun sangat rendah. Dalam permainan, untuk dapat menjawab dengan benar, jaringan DNA membutuhkan waktu 8 jam, dan setiap untaian DNA hanya dapat digunakan satu kali saja.

E-nose Buatan NASA Yang Bisa Deteksi Sel Kanker Otak


 
Saat ini perkembangan dunia medis lebih banyak didukung oleh kecanggihan teknologi yang ada. Tak usah heran, karena apapun itu, semua dimungkinkah oleh teknologi, selain karena teknologi mampu menjangkau bagian yang manusia sendiri belum mampu menjangkau secara manual, teknologi juga digunakan untuk dapat memudahkan melakukan sesuatu dengan akurat dan cepat.
Nose elektronik yang dikembangkan baru-baru ini oleh NASA, pada mulanya dirancang untuk pemantauan kualitas udara di Space Shuttle Endeavour dan Stasiun Ruang Angkasa Internasional terbarunya. Selain itu, juga bisa mendeteksi zat pencemaran sekitar satu hingga 10.000 bagian per sejuta, dan pada akhirnya para ilmuwan yang telah menemukan alat itu, juga berasumsi kalau alat tersebut bisa mencium bau perbedaan antara sel yang normal dan sel kanker otak, dan ini bukanlah  pemakaian terbaru bagi e-nose itu sendiri, tetapi yang pasti bisa membantu memajukan dunia medis itu sendiri.
Kelompok seperti Brain Mapping Foundation, City of Hope Cancer Center, dan Jet Propulsion Laboratory telah menguji teknologi tersebut dan berharap suatu saat nanti lebih bisa mengarahkan kepada cara pemahaman yang baru dari perkembangan penyakit kanker. Suatu hari nanti alat ini akan bisa mendeteksi secara tepat minyak wangi atau parfum yang Anda pakai. Wah canggih juga ya!

Sabtu, 12 November 2011

IBM Kembangkan Prosesor Mini Yang Mampu Berpikir Seperti Otak Manusia



Produsen komputer, IBM kini tengah mengerjakan sebuah proyek teknologi yang mutakhir. Bekerja sama dengan Departemen Pertahanan Amerika, mereka mengumumkan proyek pembuatan prosesor dengan arsitektur yang mirip otak manusia.
IBM mengatakan, bahwa chip prosesor tersebut nantinya akan mampu belajar dan memahami. Secara teori, prosesor tersebut akan mampu mengadaptasikan dirinya dengan situasi yang sedang dihadapinya, hampir mirip dengan otak manusia.
Saat ini, mereka telah mampu membuat prosesor tersebut untuk dapat mengenali berbagai bentuk kompleks atau sebuah teka-teki. Namun jika dibandingkan dengan kemampuan otak manusia, tingkat intelegensinya masih sangat rendah.
Prosesor ini berukuran sangat kecil. Di dalamnya terdapat 256 neuron silikon, yang tentunya sangat jauh dibandingkan dengan jumlah neuron pada otak manusia yang mencapai milyaran neuron.

21 Lutetia,Asteroid dengan Material Pembangun Yang Sama Dengan Bumi


Para peneliti angkasa di European Space Agency (ESA) berhasil menemukan benda angkasa yang memiliki material pembangun hampir sama dengan bumi. Benda angkasa tersebut adalah sebuah asteroid yang memiliki nama 21 Lutetia.

Jika ditilik dari sejarah penciptaan tata surya, para peneliti menyimpulkan kemungkinan terdapat benda angkasa yang memiliki materi pembangun yang sama dengan bumi sangatlah besar. Mereka mengatakan, tak lama setelah matahari terbentuk, protoplanet disk yang mengelilinginya mulai menyatu.

Dari proses penyatuan tersebut, tak jarang terbentuk gumpalan yang berukuran lebih besar yang selanjutnya menjadi sebuah planet. Dan sebagian lainnya berubah wujud menjadi asteroid.

Sebenarnya temuan ini bukanlah hal yang baru. Sebelumnya, para peneliti di NASA telah menemukan hal yang serupa. Dengan menggunakan teleskop yang dimilikinya, mereka mengungkapkan terdapat tiga planet yang memiliki susunan material pembangun yang sama, yakni bumi, venus dan merkurius. Selain itu, para peneliti di NASA inipun mengungkapkan hal serupa, bahwa 21 Letutia ini memiliki karateristik material pembangun yang sama dengan bumi.

Berdasarkan hasil pengamatan, asteroid ini memiliki orbit di Inner Asteroid Belt (IAB). Lebih tepatnya, posisi orbit asteroid ini terletak di antara orbit planet Mars dan Jupiter.